Surat Terbuka Untuk Pasangan Hidupku
- Dia jufry
- Apr 17, 2020
- 2 min read
Updated: Oct 17, 2020
Sabarlah aku sedang sibuk memantaskan diri, demi menjadi sebaik-baiknya pendampingmu. Saya tahu hidup jelas lebih baik dilalui denganmu. Namun kurang bijaksana apabila dilaksanakan secara buru-buru.
Ajakan menikah cepat karena rezeki pasti mengikuti jadi misleading kalau tidak hati-hati. Tuhan jelas baik. Tapi kita mesti cerah akal agar tidak dihardik. Jelas, kebaikan Tuhan tidak perlu lagi dipertanyakan.
Dari jalan-jalan tidak terduga Tuhan selalu memberi kemudahan. Namun bukankah dalam hidup kita kurang bijaksana bila terus bergantung pada kebaikan?
Kenapa? kita ini kan dianugerahkan akal dan pikiran yang strategis dan kemampuan untuk mengambil suatu keputusan. Kita bukan lagi anak manja yang bisa terus minta disuapi agar tidak kelaparan.
Menawarkan masa depan dan membangun hidup baru dengan niat baik jelas pastinya membuka pintu rezeki. Namun ini bukan berarti bisa jadi free pass untuk gegabah mengikuti kata hati.
Tidak dipungkiri, hidup bersama jelas tidak murah. Belum lagi, kalau ada nyawa-nyawa baru yang kelak butuh pempers, susu, dan biaya sekolah.
Sesungguhnya keputusan ini baru bisa diambil setelah menemukan dia yang bisa jadi pasangan hidup yang sudi di ajak kerjasama berdedikasi dalam hubungan yang kita bentuk.
Kita sudah dewasa bukan ABG lagi. Sudah bukan saatnya ternganga dan hanya mengangguk saja karena janji Tuhan yang selalu manis tanpa cela. Tuhan memang akan memudahkan segalanya. Tapi kita juga harus sadar diri.
“Segerakan,” kata orang. What? apakah hidup hanya berputar soal tanggal pernikahan? Lantas siapa yang mau bertanggung jawab nanti, saat kita diterpa masalah karena terburu-buru mengikrarkan janji?
Saya ingin bersanding secara resmi di sampingmu. Namun saya sadar, masih banyak kekurangan dalam diriku. Daripada terburu-buru, saya lebih ingin memantaskan diriku terlebih dahulu, sembari menabung agar lebih mapan saat kita menikah nanti.
Yakin-percayalah, hanya ada satu arah yang saya tuju dan arah itu insha Allah adalah kamu yaps kamu! orang tua kita membuat pernikahan terlihat mudah.
Tapi mereka tidak akan mampu bertahan sampai sekarang, jika yang mereka punya hanyalah cinta. Kita sudah memiliki rasa — itu modal utama. Kini waktunya meyakinkan serta memantaskan diri kita.
Mohon kerjasamanya berhenti takut saat pertanyaan “Kapan?” mendatangi. Kita menikah nanti karena keinginan sendiri-sendiri bukan karena lelah ditanyai.
Bersabarlah, Sayang. Biarkan saja orang lain bertanya “Kapan?” Kita menikah karena keinginan sendiri — bukan karena sudah lelah ditanyai. So, kamu dan saya sama-sama tahu, kita sedang memantaskan diri agar bisa menjawab mereka dengan sebuah tanggal yang pasti.
Lagipula siapa yang bisa menjamin bahwa setelah kita menikah nanti, pertanyaan orang-orang akan berhenti? Saya yakin-percaya justru sebaliknya yang terjadi.
“Kapan nikah?” akan berganti menjadi macam-macam pertanyaan lainnya saat kita akhirnya sudah resmi hidup bersama.
Entah itu pertanyaan soal keturunan, soal rencana memiliki rumah, soal pekerjaan dan promosi. Tidak ada gunanya terpaksa melakukan sesuatu hanya karena lelah ditanyai.
Kuharap kita sama-sama bisa bersabar, memilih berhenti tertekan oleh pertanyaan “Kapan?” saya ingin rumah tangga yang dewasa, yang tidak hanya diisi oleh rasa namun juga keberanian menghadapi realita. Yaps !
Denganmu, insha Allah saya yakin-percaya bisa menghadapinya. Terutama nanti, beberapa saat lagi, ketika saya sudah lebih mampu dan dewasa. So, Beri saya waktu memantaskan diri saya.
Melunasi mimpi-mimpiku sendirian, dan memantaskan diri. Demi kehidupan bersama yang bukan hanya manis di awal, demi sisa hidup yang tidak akan pernah kita lupakan.
Saat bersama kita akan segera tiba, maukah kamu bersabar sebentar lagi saja.
Salam,
Dia Jufry_25
コメント